cerita rakyat yang mengandung bencana alam
Verba kata yang mengandung makna dasar perbuatan, proses atau keadaan yang bukan sifat. Adjektiv: kata yang digunakani untuk menggambarkan sifat atau keadaan orang, benda dan binatang. Adverbia: kata yang melengkapi atau memaparkan informasi berupa keterangan tempat, waktu, suasana, alat, cara dan lain sebagainya. (Baca Juga: Contoh Teks
Dariberbagai macam jenis bencana alam yang pernah terjadi, bencana gunung meletus akan dijadikan sebagai contoh teks eksplanasi bencana alam pada bagian ini. Masyarakat yang hidup di negara demokrasi memiliki hak untuk menyerukan pendapatnya didepan publik, salah satu cara yang ditempuh adalah dengan berunjuk rasa atau yang di-istilah-kan
OlehRoni Tabroni Dosen Sejarah STKIP Pangeran Dharma Kusuma Indramayu ALKISAH, pada zaman dahulu di wilayah Kesultanan Ternate, Maluku Utara, terdapat masyarakat di sebuah kampung yang melakukan ritual pemberian sesajen secara berlebihan; dibarengi minum arak dan tuak. Situasi tersebut membuat Sang Dewa marah. Imbasnya Sang Dewa mengamuk dan berjanji akan menenggelamkan kampung mereka. Cerita
Satuekor ayam memiliki bulu 2 - 4 warna dan bahkan ada yang hanya satu warna yakni warna hitam, putih. Keanekaragaman warna bulu ayam itu mempunyai filosopi bagi masyarakat, sehingga ada yang menyebutnya dengan istilah ayam bernama. Maksud bernama tersebut ada kaitannya dengan kepercayaan masyarakat terutama yang berkaitan dengan mistik
BukuAncaman Alami, Bencana Tidak Alami : Ekonomi Untuk Pencegahan Yang Efektif karya The World Bank, The United Nations. Kata 'Tidak Alami' dalam judul buku ini secara gamblang mengutarakan pesan kuncinya. Berbagai bencana, seperti gempa bumi, kekeringan, banjir, dan b
minh thương dễ tránh yêu thầm khó phòng.
“…U nen ne akel linon, fesang bakat ne mali, manoknop sao hampong, tibo-tibo mawi. Anga linon ne mali, uwek suruik sahuli, maheya mihawali fano me singa tenggi. Ede smong kahanne.…”Lagu Nandong Smong’ biasa didendangkan saat acara adat pernikahan, khitanan, atau lainnya oleh masyarakat Pulau Simeulue, Aceh. Nyanyian yang dikategorikan sebagai cerita rakyat folklor itu sudah ada berabad-abad silam. Sesuai dengan judul lagunya, nandong diartikan nyanyian, sedangkan smong artinya air laut yang naik ke daratan atau lagu tradisional Simeulue itu kurang-lebih artinya seperti ini, Diawali oleh gempa, disusul ombak yang besar sekali, tenggelam seluruh kampung, tiba-tiba saja. Jika gempanya kuat, disusul air yang surut, segeralah cari tempat yang lebih tinggi. Itulah gelombang laut setelah gempa’. Tradisi lisan turun-temurun ini menjadi memori kolektif masyarakat tentang kondisi tempat tinggalnya yang rawan gempa dan smong, tahun lalu, pulau paling barat Aceh itu kerap dilanda bencana alam. Tradisi lisan itu muncul karena rentetan gempa dan tsunami pada 1883 dan 1907. Begitu pula ketika Aceh diguncang gempa kekuatan 9,3 skala Richter, disusul gelombang tsunami mencapai 30 meter pada 26 Desember 2004. Berkat kesadaran masyarakat yang terbentuk dari smong, korban meninggal dunia akibat tsunami di Simeulue hanya tujuh Smong bisa dikatakan sebagai kearifan lokal untuk sistem peringatan dini masyarakat di masa lampau terhadap ancaman tsunami. Kini pemerintah lebih mengandalkan teknologi dalam mengurangi risiko bencana atau mitigasi, termasuk menempatkan alat-alat sistem peringatan dini. Tetapi memang bencana alam yang terjadi sangat sukar diprediksi. Cukup banyak catatan kita. Hanya saja, kurang atau belum banyak dipertimbangkan oleh para pengambil kebijakan sekarang. Karena sumber-sumber sejarah ini nggak ada yang mengangkatnya.” “Kasus Simeulue itu menjadi memori kolektif masyarakat setempat sehingga, ketika terjadi tanda-tanda, mereka otomatis saja lari ke tempat yang lebih tinggi,” kata Oman Fathurahman, guru besar filologi Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, kepada detikX, Selasa, 6 Oktober 2020. Bukan hanya Nandong Smong di Simeulue, di sejumlah daerah lainnya di Indonesia memiliki kearifan lokal serupa berupa lagu, naskah, atau manuskrip kuno terkait bencana alam. Dari penelusuran detikX, pada 2017, Puslitbang, Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi LKKMO Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melakukan penelitian terhadap naskah atau manuskrip kuno berupa takwil Syair Nagari Taloe Tarendam’ di Sumatera Barat. Dalam naskah itu disebutkan bagaimana peran penting ulama dalam kehidupan sosial masyarakat, terutama soal bencana alam. Ketika bencana alam terjadi, masyarakat diajari bersabar, dididik melakukan suatu kebaikan, kedisiplinan, sikap sosial, dan memegang teguh ajaran agama. Bila tidak, gempa akan terjadi Nusa Tenggara Barat, yang rawan gempa, ditemukan enam manuskrip kuno, yaitu Naskah Palinduran, Naskah Cilinaya, Takepan Doyan Nada, Takepan Suwung, Babad Lombok, dan Naskah Dewi Anjani. Keenam naskah itu berisi ajaran cara mengatasi gempa, ramalan gempa, dan pelajaran akan pentingnya menepati sebuah janji, serta kesediaan menghargai kearifan lokal dengan melaksanakan hal-hal Banten ditemukan manuskrip tentang letusan dahsyat Gunung Krakatau, 27 Agustus 1883, yang menimbulkan gempa dan tsunami setinggi 20 meter. Ditemukan juga Naskah Kedutan dan tradisi lisan terkait bencana alam. Misalnya, sebelum terjadi bencana, ada tanda-tanda dari hewan, masyarakat merasa cemas, sehingga ada tradisi tolak bala atau ruwatan. Lalu di Jawa Barat ada Naskah Cara Karuhun Sunda, yang menyebutkan bencana alam adalah takdir Tuhan, tapi tanah nenek moyang harus dipertahankan. Karena itu, alam tak boleh dieksploitasi secara berlebihan, harmoni alam harus dijaga, agar bencana tak di Cirebon ditemukan Naskah Bunga Rampai ,yang banyak mengandung narasi mitigasi bencana. Di dalam naskah itu disebutkan wilayah pesisir utara Jawa lebih damai. Karena wilayah pesisir selatan Jawa lebih rawan bencana alam, masyarakat banyak memilih menjadi petani di dataran tinggi. Di Pulau Dewata, Bali, terdapat Babad Buleleng dan Babad Ratu Panji Sakti, yang merekam gempa bumi dan air bah besar tsunami pada 1815. Juga naskah kuno orang Bugis, Sulawesi Selatan, bernama Lontarak Pangissengeng, yang menyebutkan hubungan gempa dan bencana alam lainnya akibat perilaku manusia yang buruk.“Cukup banyak catatan kita. Hanya saja, kurang atau belum banyak dipertimbangkan oleh para pengambil kebijakan sekarang. Karena, sumber-sumber sejarah ini nggak ada yang mengangkatnya,” ujar Oman, yang juga merupakan Ketua Masyarakat Pernaskahan Oman, naskah kuno atau manuskrip tentang takwil banjir dan gempa patut diteliti lebih mendalam secara saintis. Hal ini penting agar kearifan lokal ini menjadi pertimbangan pemerintah untuk merumuskan mitigasi bencana yang baik bagi suatu daerah. “BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana tidak boleh hanya mengandalkan sains saja, tetapi mitigasi sosial-budaya dipertimbangkan, karena ini penting sekali,” tegas adalah contoh kasus. Sebenarnya gempa yang terjadi di Negeri Sakura lebih sedikit dibandingkan Indonesia. Hanya saja, informasi atau nilai kearifan lokal digabungkan dengan sains sehingga membuat kebijakan mitigasi bencana yang baik. Masyarakat di sekitar Sendai, Prefektur Miyagi, membangun benteng-benteng setinggi 2-3 meter. Alhasil, ketika gempa melanda pada 2011, korban jiwa pun tak banyak.“Seperti di Jepang, melihat kearifan lokal pada masa lalu, melihat pola-pola bencana yang bisa diantisipasi. Seperti kasus di Jepang, yang melihat kasus 75 tahun lalu pernah dilanda gempa dan tsunami besar, makanya dibangun benteng-benteng tinggi untuk menghalangi tsunami,” imbuh pernah membaca manuskrip abad ke-19 berhuruf Arab dan bahasa Melayu yang ditemukan di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar. Manuskrip yang disebut takwil gempa itu menceritakan tanda dan akibat gempa dan tsunami seperti yang menimpa Aceh pada 26 Desember manuskrip kuno di Bengkulu, isinya catatan gempa dan tsunami besar di pantai barat Sumatera, 3 November 1823. Ditemukan juga Naskah Tabir Gempa karya anonim yang tersimpan di Perpustakaan Ali Hasjmy, Banda Aceh. Orang Aceh menyebut tsunami dengan sebutan ie beuna air bah besar dari laut.Manuskrip kuno umumnya hanya menyebutkan bulan dalam kalender Hijriah ketika bencana tiba. Misalnya, gempa terjadi pada bulan A waktu Subuh atau duha. Akan terjadi kekurangan pangan kelaparan dan peperangan. “Sama ketika tsunami di Aceh 2004, itu bulan Rajab waktu duha Minggu, 26 Desember 2004 pagi. Setelah saya baca manuskrip dari abad ke-19 dijelaskan waktunya persis. Kalau terjadi pada bulan tertentu pada duha, akan terjadi banyak yang mati, kira-kira begitu,” jelas Oman lagi. Filolog lainnya dari Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, Hermansyah, menemukan Naskah Gempa dan Gerhana Wa-Shahubul dalam Kitab Ibrahim Lambunot koleksi Museum Negeri Aceh. Isinya tentang tsunami pada 1906 atau 1324 Hijriah. Filolog dari Universitas Andalas, Padang, Zuriati menemukan naskah Takwil Gempa di Lubuk Ipuh dan Malalo di Sumatera Barat. Di Perpustakaan Nasional, Jakarta, tersimpan naskah Ramalan sejenis juga tersimpan di The Delf Collection, Belanda, dengan judul Kitab Ta’bir yang berisi sejumlah teks, meliputi ta'bir mimpi, ta'bir kusyuf alkamar wa asy-syams gerhana bulan dan matahari, dan ta'bir lindu gempa bumi. Bahkan di Jakarta saja ada sebuah manuskrip abad-19 yang berjudul Hikayat Nakhoda Asik dan Hikayat Merpati Mas karangan Muhammad Bakir tahun 1887 bertuliskan huruf pegon Arab-Betawi. Isinya sekelumit cerita air bah banjir di Jakarta akibat gempa dan letusan Gunung Krakatau pada teks naskah dan manuskrip kuno, wilayah Indonesia memang secara rutin’ terjadi gempa dan tsunami. Siklusnya ada yang antara 50-200 tahunan. Seperti gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, 28 September 2018. Gempa itu dibarengi likuifaksi mencairnya tanah di Petobo dan Balaroa. Ternyata di daerah itu ada budaya lisan yang menyebutkan tsunami dengan sebutan nalado. Dalam manuskrip dikatakan, bila gempa terjadi sore saat Asar menjelang Magrib, pertanda akan ada suatu wilayah yang berpindah. “Nah, ternyata berpindah itu maksudnya likuifaksi itu. Likuifaksi itu fenomena di mana satu desa tergulung, pindah sekian kilometer seperti di Petobo dan Balaroa,” ucap menambahkan, motif dan pola muncul dalam manuskrip kuno itu harus dibaca menjadi sebuah kearifan lokal. Memang tidaklah mudah dan sama menguji sebuah manuskrip kuno seperti menguji ilmu kedokteran atau ilmu eksakta lainnya. Tetapi hal itu bisa menjadi sebuah pengetahuan yang bisa diserap secara bijak untuk merumuskan berbagai hal, termasuk mitigasi bencana.“Manuskrip-manuskrip itu tujuannya seperti kaca spion. Lihatlah masa lalu kita pernah apa. Kalau sudah terjadi beberapa kali bencana juga. Melihat pola-pola bencana yang bisa diantisipasi. Seperti kasus di Jepang, yang melihat kasus 75 tahun lalu pernah dilanda gempa dan tsunami besar, makanya dibangun benteng-benteng tinggi untuk menghalangi tsunami,” pungkasnya.
Narasumber Ma’rufin Sudibyo kiri dan moderator Zidna moderator. Foto Ahimsa/ YOGYA – Cerita rakyat seperti Sangkuriang dan Ratu Kidul bukannya muncul begitu saja, tapi menyimpan pengetahuan mendalam yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Termasuk pengetahuan mengenai lingkungan. Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta PW IPM DIY melalui Bidang Apresiasi Seni Budaya dan Olahraga ASBO dan Bidang Lingkungan Hidup LH menggelar diskusi “Cerita Rakyat untuk Menjaga Bumi Indonesia†dengan subjudul “Edukasi Kultural tentang Ekologi dan Mitigasi Bencanaâ€, Ahad 9/1. Kegiatan virtual ini dihadiri lebih dari 50 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia. Narasumber yang diundang adalah Ma’rufin Sudibyo, peneliti kebencanaan di Badan Pengelola Geopark Nasional Karangsambung-Karangbolong yang juga aktif di Dongeng Geologi. Ma’rufin berbagi fakta penting bahwa gempa bumi dan tsunami adalah bencana paling mematikan dalam dua dasawarsa terakhir terhitung sejak 2000. Namun, bencana-bencana tersebut sudah sunatullah untuk terus terjadi selama lempeng-lempeng bumi bergerak. Perulangan itu menunjukkan fenomena alam sebenarnya memiliki pola tertentu yang dapat dibaca dan dianalisis. Oleh karenanya, manusia perlu memahami dan menyesuaikan melalui upaya mitigasi sehingga risiko bencana alam dapat diminimalisasi. Di Indonesia, kejadian bencana alam di masa silam kerap terekam dalam cerita tutur yang disampaikan dari generasi ke generasi. Cerita tersebut dapat menjadi salah satu modal melakukan mitigasi. Ma’rufin menunjukkan bagaimana cerita legenda seperti Sangkuriang, Batu Klinting, dan juga Ratu Kidul berkemungkinan menjelaskan kondisi alam Indonesia. Detail dalam cerita Sangkuriang memiliki kesamaan dengan beberapa fenomena alam di Sesar Lembang, Bandung. Interpretasi lain mengatakan bahwa cerita Sangkuriang diperkirakan mengandung penjelasan munculnya Tangkuban Perahu. Sedangkan, cerita Batu Klinting di Semarang menggambarkan fenomena alam sebelum munculnya Rawa Pening. Cerita lain seperti Ratu Kidul dapat menjelaskan gempa-gempa megatrust Jawa pada 400 tahun silam. Cerita-cerita tadi di satu sisi bisa dianggap sebagai gugon tuhon, cerita yang mengada-ada, bahkan bagi sebagian orang dianggap sebagai syirik. Tapi di sisi lain, bisa jadi merupakan mekanisme dari nenek moyang kita untuk menyampaikan apa yang terjadi saat itu dengan bahasa mereka sendiri, dengan keterbatasan pengetahuan mereka. Kegiatan diskusi itu bukan tanpa kelanjutan. Rencana, PW IPM DIY akan melanjutkan dengan penyusunan video dongeng yang melibatkan pelajar, sebagai upaya mendorong edukasi kepedulian lingkungan dan mitigasi bencana. * Berita ini diolah dari rilis ASBO dan LH PW IPM DIY Wartawan Ahimsa W. SwadeshiEditor Heru Prasetya
Yogyakarta – Siapa yang masa kecilnya tidak dipenuhi dengan cerita-cerita dongeng? Cerita-cerita rakyat seperti Sangkuriang dan Ratu Kidul rupanya muncul di kehidupan kita bukan secara cuma-cuma, melainkan cerita itu menyimpan pengetahuan mendalam yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Termasuk pengetahuan mengenai lingkungan. Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta PW IPM DIY melalui Bidang Apresiasi Seni Budaya dan Olahraga ASBO dan Bidang Lingkungan Hidup LH menggelar sebuah diskusi bertema “Cerita Rakyat untuk Menjaga Bumi Indonesia” dengan subjudul “Edukasi Kultural tentang Ekologi dan Mitigasi Bencana”. Kegiatan virtual ini dilaksanakan pada Ahad malam 9/1 dan dihadiri lebih dari 50 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia. Narasumber yang diundang pada kegiatan itu ialah Ma’rufin Sudibyo, peneliti kebencanaan di Badan Pengelola Geopark Nasional Karangsambung-Karangbolong yang juga aktif di Dongeng Geologi. Mengawali materinya, Ma’rufin berbagi fakta penting bahwa, “Gempa bumi dan tsunami adalah bencana paling mematikan dalam dua dasawarsa terakhir terhitung dari tahun 2000.” Namun, bencana-bencana tersebut sudah sunatullah untuk terus terjadi selama lempeng-lempeng terus bergerak. Perulangan tersebut menunjukkan bahwa fenomena alam sebenarnya memiliki pola tertentu yang dapat dibaca dan dianalisis. Oleh karenanya, manusia perlu memahami dan menyesuaikan kondisi-kondisi itu melalui upaya mitigasi sehingga risiko bencana alam dapat diminimalisasi. Menariknya di Indonesia, kejadian-kejadian bencana alam yang terjadi di masa silam kerap terekam dalam cerita tutur yang disampaikan dari generasi ke generasi. Cerita tersebut dapat menjadi salah satu modal untuk melakukan mitigasi. Dalam materinya, Ma’rufin menunjukkan bagaimana cerita legenda seperti Sangkuriang, Batu Klinting, dan juga Ratu Kidul berkemungkinan menjelaskan kondisi alam Indonesia. Detail dalam cerita Sangkuriang rupanya memiliki kesamaan dengan beberapa fenomena alam di Sesar Lembang, Bandung. Interpretasi lain mengatakan bahwa cerita Sangkuriang ini diduga mengandung penjelasan munculnya Tangkuban Perahu. Selain itu, cerita Batu Klinting yang tumbuh di daerah Semarang menggambarkan fenomena alam sebelum munculnya rawa pening. Cerita lain seperti Ratu Kidul pun dapat menjelaskan gempa-gempa megatrust Jawa yang terjadi 400 tahun silam. “Cerita-cerita tadi di satu sisi bisa dianggap sebagai gugon tuhon, cerita yang mengada-ada, bahkan bagi sebagian orang dianggap sebagai syirik. Tapi di sisi lain, bisa jadi itu merupakan sebuah mekanisme dari nenek moyang kita untuk menyampaikan apa yang terjadi saat itu dengan bahasa mereka sendiri, dengan keterbatasan pengetahuan mereka,” jelas Ma’rufin. Kegiatan diskusi itu bukan tanpa kelanjutan. Rencana, PW IPM DIY akan melanjutkannya dengan penyusunan video dongeng yang melibatkan pelajar, sebagai upaya untuk mendorong edukasi kepedulian lingkungan dan mitigasi bencana. Ini dituturkan oleh salah satu panitia, Ahimsa W. Swadeshi, dalam sesi diskusi. *Asbo dan LH PW IPM DIY
Peristiwa tsunami Sumber PixabayAda mitos yang berkembang di kalangan masyarakat. Pada suatu hari Ratu Kidul Nyi Roro Kidul merasa heran dengan keadaan alam yang sangat aneh. Cuaca saat itu sangat panas dan disertai gelombang tinggi yang mampu merobohkan pepohonan di daratan. Banyak ikan yang mati, karena terlempar ke ini membuat Nyi Roro Kidul, Penguasa Laut Selatan heran. Maka dia pun menyelidiki apa penyebabnya. Ternyata, saat itu seorang pemuda bernama Senopati sedang bersemedi. Tujuan dari semedi itu adalah untuk memohon restu guna mendirikan sebuah kerajaan. Sang Ratu lantas memberikan restu untuk kerajaan baru empat abad, sebagian masyarakat Jawa percaya bahwa peristiwa itu hanya mitos belaka. Mitos untuk melegitimasi kemunculan sebuah kekuasaan dalam peradaban Jawa. Sesuatu yang wajar pada masa itu. Sebagian lagi memilih untuk percaya bahwa peristiwa itu benar terjadi. Meski imajinasi mereka sebenarnya tidak mampu membayangkannya. Mereka yang percaya, berkeyakinan bahwa peristiwa alam tersebut menjadi pertanda. Kisah itu dimuat dalam dua karya sastra lama yaitu Babad Tanah Jawi dan Serat Sri muncul pendapat yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan dua pendapat di atas. Bedanya bahwa pendapat ini didukung bukti konkret karena sudah ada penelitian yang dilakukan. Pendapat ini menyebutkan jika cerita dalam babad dan serat tersebut merupakan sebuah peristiwa yang nyata dan pernah terjadi. Sebuah peristiwa alam yang kemudian dihubungkan dengan peristiwa tentang bencanaSejumlah riset telah dilakukan. Salah satunya oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI. Eko Yulianto, peneliti paleotsunami dari Lembaga tersebut menyebutkan jika Pantai Selatan Jawa memang pernah dihantam tsunami yang besar. Peristiwa ini terjadi sekitar 400 tahun yang terkait peristiwa tsunami di masa kuno ini sudah dilakukan sejak tahun 2006 di sejumlah lokasi antara lain pantai Lebak, Pangandaran, Cilacap, Kutoarjo, Kulonprogo, dan Pacitan. Endapan tsunami ditemukan di sepanjang pantai tersebut. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa lokasi endapan tersebut berada hingga 2,5 km dari garis pantai. Ini bisa diartikan tsunami menerjang daratan sampai radius 2,5 km dari tepi pantai. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada peristiwa bencana alam pada masa lalu masih terekam dalam bentuk cerita rakyat dan naskah juga peristiwa bencana di Indonesia yang tidak terekam dalam media apa pun. Namun bukti nyata dari peristiwa tersebut dapat dijumpai sampai saat ini. Tengoklah penemuan sejumlah candi di DI Yogyakarta misalnya Candi Sambisari, Kedulan, Kimpulan, dan lain-lain. Posisi candi tersebut berada di bawah permukaan tanah saat dari candi-candi tersebut tidak diikuti dengan penemuan prasasti, kecuali Candi Kedulan. Posisi candi-candi yang terpendam oleh pasir atau endapan lahar dingin tersebut menjadi bukti bahwa bencana alam sudah sering terjadi di Indonesia sejak satu contoh candi yang terpendam itu adalah Candi Sambisari. Candi Sambisari merupakan kelompok percandian yang berada di Dusun Sambisari, Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan hasil ekskavasi penggalian diketahui jika candi ini berada 6,5 m di bawah permukaan tanah. Komposisi tanah di sekitar candi ini adalah pasir dan abu gunung api. Hal ini menunjukkan jika pada masa lalu, keadaan alam sekitar candi sudah berubah akibat adanya letusan gunung berapi. Dan sejumlah pendapat ahli menyebutkan jika letusan gunung api, yang “mengubur” candi-candi tersebut tidak hanya terjadi sekali. Sayangnya peristiwa tersebut tidak diketahui waktu fakta di atas sebenarnya menunjukkan bahwa negeri ini bukan sekadar kaya akan sumber daya alam. Negeri ini juga memiliki potensi yang agak mengherankan adalah materi tentang sejarah bencana ini sangat jarang disampaikan pada generasi muda saat belajar sekolah. Berbicara mengenai peradaban Jawa Kuno, siswa lebih sering mendapat materi terkait urutan penguasa kerajaan. Padahal membicarakan peradaban sebuah kerajaan bukan sekadar berbicara politik semata. Ada banyak aspek yang menarik. Salah satunya adalah tentang bencana mengajarkan sejarah tentang bencana pada generasi muda ini bisa menjadi salah satu bentuk mitigasi bencana. Khususnya pada negeri kita yang pernah dilanda bencana sejak dari masa lalu. Mitigasi bencana diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa bencana alam tersebut bisa terulang kembali. Hal yang lumrah terjadi. Berdasarkan kajian geologi, bumi memiliki siklus untuk peristiwa-peristiwa terjadi di dalamnya. Maka kita tentu perlu tahu bagaimana cara leluhur kita dalam menghadapinya.
cerita rakyat yang mengandung bencana alam