cerita rakyat bugis tulisan lontara
Namunsebagian besar masyarakat bugis yang masih menganut agama lokal yaitu kepercayaan Tolotang menganggap bahwa I La Galigo ini sebagai kitab suci. Karya satra ini memiliki sekitar 6.000 halaman dan 300 ribu baris teks dengan menggunakan penulisan aksara Lontara yaitu aksara asli Bugis, penyusunan puisi didalamnya dianggap sangat indah dan
MasyarakatBugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya.Etnik Bugis mempunyai bahasa tersendiri dikenali sebagai Bahasa Bugis (Juga dikenali sebagai Ugi). Konsonan di dalam Ugi pula di kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi.
minh thương dễ tránh yêu thầm khó phòng. Penggunaan sumber dalam belajar sejarah menjadi sangat penting karena sejarah merekonstruksi peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lalu. Untuk merekonstruksi kembali peristiwa-peristiwa masa lampau menjadi suatu kisah diperlukan adanya sumber sejarah, bukti, serta fakta-fakta sejarah. Informasi yang diperoleh dari data atau sumber sejarah adalah keterangan sekitar apa yang terjadi, siapa pelakunya, di mana peristiwa itu terjadi dan kapan peristiwa itu sumber sejarah dapat diperoleh informasi yang menjelaskan tentang terjadinya suatu peristiwa tertentu. Seluruh keterangan inilah yang dijadikan dasar untuk merekonstruksi peristiwa masa lalu menjadi sebuah karya sejarah. Oleh karena itu karya sejarah merupakan sebuah karya nonfiksi, tanpa adanya sumber maka tidak ada sejarah, sebuah kisah yang ditulis tanpa fakta sejarah atau sumber yang jelas maka itu disebut karya sejarah adalah segala sesuatu yang berwujud dan tidak berwujud serta berguna bagi penelitian sejarah, baik itu berupa sumber lisan, berupa benda atau artefak peninggalannya, serta sumber tertulis yang biasa kita kenal sebagai kronik atau juga Seperti Inilah Metode dalam Penelitian dan Penulisan SejarahManuskrip adalah sebuah tulisan tangan yang telah ditulis oleh orang terdahulu yang masih ada sampai saat ini. Di Indonesia ada banyak sekali manuskrip-manuskrip kuno yang dijadikan sumber dalam penulisan sejarah. Terkhusus di Sulawesi Selatan, manuskrip kuno itu banyak ditemukan dan dipergunakan sebagai sumber sejarah primer, manuskrip itu disebut dengan nama Lontara’.Dalam tulisan Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin yang berjudul “Notes on the Lontara’ as Historical Sources,” dimuat dalam majalah Indonesia, No. 12 Oktober, 1971, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca, New York, dijelaskan macam-macam Lontara’ yang di kenal khususnya masyarakat Bugis-Makassar serta Mandar yang mengandung berbagai bidang ilmu pengetahuan kuno seperti sejarah termasuk sejarah hukum adat, filsafat dan pandangan hidup, pertanian, kebudayaan, obat-obatan, hukum adat termasuk peradilan, dan lontara’ karena manuskrip ini ditulis menggunakan aksara Lontara’, dinamakan aksara lontara’ karena dahulu sebelum adanya kertas hanya dituliskan di atas daun Lontar dalam bahasa Bugis disebut lontara’, sejenis palem.Lontara’. Foto lontara’ kadang juga disebut dengan istilah sure’ atau dalam bahasa Indonesia disebut surat, suatu istilah yang lebih tua dari pada lontara’. Pada umumnya semua lontara’ atau sure’ tidak mencantumkan nama penulisnya. Tidak juga dijelaskan apa maksud penulisan tersebut yang lazim terdapat pada kalimat-kalimat pertama lontara’-lontara’ lain di Sulawesi juga 8 Kitab Kuno di Nusantara yang Sering Dijadikan Sumber Penulisan SejarahTidak dicantumkannya nama penyusun atau penulisnya karena kemungkinan penulis tidak mau mencari popularitas. Penulis atau penyusun lontara’ hanya sering diketahui berdasarkan keterangan ahli lontara’. Namun sayangnya ada kelemahan dalam penggunaan lontara’ ini sebaga sumber sejarah dikarenakan tidak adanya penulisan angka tanggal/tahun yang tertera pada kronik lontara’, baik itu tanggal penulisan maupun tanggal peristiwa yang dituliskan di dalamnya. Adapun beberapa jenis-jenis lontara’ yang dipergunakan oleh masyarakat di Sulawesi Selatan sebagai berikut1. Lontara’ Attoriolong Bugis, Pattoriolong Makassar. Merupakan kronik orang dahulu yang mengandung fakta sejarah atau catatan mengenai suatu peristiwa penting di masa lalu. Hampir setiap kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan memiliki Lontara’ Attoriolong masing-masing, keberadaan Lontara’ Attoriolong di era sekarang sangat membantu para peneliti sejarah untuk menuliskan sejarah di Sulawesi Lontara’ Bilang Lontara ini menjelaskan tentang nama-nama hari dan hari-hari yang dianggap baik menurut kepercayaan kuno masyarakat Sulawesi Lontara’ Ade’ Lontara’ ini merupakan kronik adat kebiasaan, contoh lontara jenis ini di daerah yang berbahasa Bugis disebut lontara’ Latoa, sementara di daerah yang berbahasa Makassar disebut Lontara’ Ulu Ada Bugis, Ulu Kanaya Makassar Lontara’ ini merupakan rumus perjanjian antara kerajaan di Sulawesi Selatan maupun perjanjian dengan negara Lontara’ Allopi-loping Lontara’ ini berisi himpunan hukum adat pelayaran, salah satu yang cukup populer yaitu lontara’ Allopi-loping yang ditulis oleh Lontara’ Pangnguriseng Lontara ini berisi tentang silsilah raja-raja atau para bangsawan di Sulawesi Lontara’ Kotika Berbeda dengan lontara’ Bilang yang menjelaskan tentang nama-nama hari dan hari-hari yang dianggap baik, lontara’ Kotika ini hanya menjelaskan waktu-waktu baik dan buruk dalam sehari selama satu pekan.
Aksara Lontara Suku Bugis - Tulisan Dan Huruf Bugis. Kebudayaan diciptakan karena adanya kebutuhan needs manusia untuk mengatasi berbagai problem yang ada dalam kehidupan mereka. Melalui suatu proses berfikir yang diekspresikan kedalam berbagai wujud. Salah satu wujud kebudayaan manusia adalah TULISAN. Seperti halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisan pun diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka. Menurut Coulmas, pada awalnya tulisan diciptakan untuk mencatatkan firman-firman tuhan, karena itu tulisan disakralkan dan dirahasiakan. Namun dalam perjalanan waktu dengan berbagai kompleksitas kehidupan yang dihadapi oleh manusia, maka pemikiran manusia pun mengalami perkembangan demikian pula dengan tulisan yang dijadikan salah Satu jalan keluar untuk memecahkan problem manusia secara umumnya. Seperti yang dikatakan oleh Coulmas “a king of social problem solving, and any writing system as the comman solution of a number of related problem” 198915 Alat Untuk Pengingat Memperluas jarak komunikasi Sarana Untuk memindahkan Pesan Untuk Masa Yang akan datang Sebagai Sistem Sosial Kontrol Sebagai Media Interaksi Sebagai Fungsi estetik Begitu pula yang terjadi pada kebudayaan di Indonesia. Ada beberapa suku bangsa yang memiliki huruf antara lain. Budaya Jawa, Budaya Sunda, Budaya Bali, Budaya Batak, Budaya Rejang, Budaya Melayu, Budaya Bugis Dan Budaya Makassar. Disulawesi selatan ada tiga betuk macam huruf yang pernah dipakai secara bersamaan. Huruf Lontaraq Huruf Jangang-Jangang Huruf Serang Sementara bila ditempatkan dalam kebudayaan bugis, Lontaraq mempunyai dua pengertian yang terkandung didalamnya Lontaraq sebagai sejarah dan ilmu pengetahuan Lontaraq sebagai tulisan Kata lontaraq berasal dari Bahasa Bugis/Makassar yang berarti daun lontar. Kenapa disebuat sebagai lontaraq ? karena pada awalnya tulisan tersebut di tuliskan diatas daun lontar. Daun lontar ini kira-kira memiliki lebar 1 cm sedangkan panjangnya tergantung dari cerita yang dituliskan. Tiap-tiap daun lontar disambungkan dengan memakai benang lalu digulung pada jepitan kayu, yang bentuknya mirip gulungan pita kaset. Cara membacanya dari kiri kekanan. Aksara lontara biasa juga disebut dengan aksara sulapaq eppaq. Karakter huruf bugis ini diambil dari Aksara Pallawa Rekonstruksi aksara dunia yang dibuat oleh Kridalaksana Memang terdapat bebrapa varian bantuk huruf bugis di sulawesi selatan, tetapi itu tidaklah berarti bahwa esensi dasar dari huruf bugis ini hilang, dan itu biasa dalam setiap aksara didunia ini. Hanya ada perubahan dan penambahan sedikit yang sama sekali tidak menyimpang dari bentuk dasar dari aksara tersebut. Varian itu disebabkan antara lain Penyesuaian antara bahasa dan bunyian yang diwakilinya. Penyesuaian antara bentuk huruf dan sarana yang digunakan Demikianlah tentang Aksara Lontara Suku Bugis - Tulisan Dan Huruf Bugis sumber artikel portalbugis wordpress com
Makassar - Aksara Lontara juga dikenal sebagai aksara Bugis yang digunakan oleh dua etnis di Sulawesi Selatan Sulsel, yaitu Suku Bugis dan Suku juga merupakan identitas daerah dan merupakan nilai-nilai leluhur yang sangat berharga dan merupakan satu dari lima aksara dunia, yakni aksara Arab, Latin, Kanji, Kawi Jawa Kuno.Dikutip dari Jurnal Universitas Komputer Indonesia Unikom yang berjudul "Aksara lontara Dalam Kehidupan Masyarakat Suku Bugis", pada abad ke 16 Masehi M hingga awal abad 20 masehi, aksara Lontara dijadikan sebagai tulisan sehari-hari bagi sastrawan Sulsel. Aksara Lontara sangat terkenal di Eropa semenjak sure' I La Galigo dibawa Oleh Mathes dari Sulsel ke Belanda. Aksara Lontara saat ini telah terdaftar di Unicode, dan telah dijadikan buku yang termuat dalam The Unicode Lontara diciptakan oleh Daeng Pamatte yang merupakan seorang syahbandar dan menjabat sebagai Tumailalang Menteri urusan istana luar dan dalam negeri di kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa ke IX Daeng Matanre Karaeng Manguntungi 1510 - 1546. Alasan aksara ini dibuat yakni pada saat itu pemerintah Kerajaan Gowa ingin menuliskan apa yang mereka itu agar mereka dapat menuliskan kejadian pada masa itu, sebagai warisan bagi keturunannya sebagai bekal bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Aksara Lontara pada masa ini disebut sebagai aksara Lontara Toa atau Jangang-Jangang burung.Dalam perkembangannya aksara Lontara kemudian mengalami perubahan. Huruf aksara Lontara berubah saat agama Islam masuk sebagai agama resmi di Kerajaan huruf aksara Lontara berubah mengikuti simbol angka dan huruf Arab. Seperti huruf Arab nomor 2 diberi makna huruf "ka", angka Arab nomor 2 dan titik dibawah diberi makna "Ga", angka tujuh dengan titik di atas diberi makna "Nga".Aksara Lontara yang telah mengalami perubahan ini disebut Lontara Bilang-Bilang atau jika diartikan dalam bahasa Indonesia berarti Lontara Bilang-Bilang ini sendiri diperkirakan muncul pada abad ke-16 yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin 1593-1639.Selanjutnya aksara Lontara mengalami penyederhanaan dengan menggunakan bentuk huruf dari belah demikian disebutkan dalam jurnal tersebut belum diketahui secara jelas siapakah yang menemukan penyederhanaan aksara Lontara ini. Namun, berdasarkan jumlah aksara yang semula 18 huruf dan kini menjadi 19 huruf, dapat dinyatakan bahwa penyederhanaan itu dilakukan setelah masuknya tambahan akibat pengaruh Islam dari bahasa arab tersebut yakni huruf "Ha".Sementara, ada pendapat yang menyebutkan bahwa si pencipta aksara Lontara Daeng Pamatte sendiri yang kemudian menyederhanakan dan melengkapi aksara lontara Usul Penamaan Aksara LontaraMengutip karya ilmiah Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin Unhas, Prof Nurhayati Rahman berjudul "Sejarah dan Dinamika Perkembangan Huruf Lotaraq di Sulawesi Selatan" disebutkan bahwa kata Lontara berasal dari bahasa Bugis yang terdiri dari dua kata, yaitu raung yang berarti daun, dan taq yang berarti lontar. Jadi raung taq berarti daun demikian, karena pada awalnya tulisan tersebut dituliskan di atas daun lontar. Daun lontar ini bentuknya berukuran kira-kira 1 cm lebarnya, sedangkan panjangnya bergantung dari panjang cerita yang dituliskan di tiap-tiap daun lontar disambung dengan memakai benang, lalu digulung pada jepitan sebuah kayu, yang bentuknya mirip pita Aksara LontaraMelansir aksara Lontara tak memiliki tanda baca virama pemati vokal sehingga aksara konsonan mati tidak dituliskan. Hal ini dapat menimbulkan kerancuan bagi orang yang tak terbiasa dan tidak mengerti akan kata yang pada kata "Mandar" hanya ditulis mdr, dan tulisan sr dapat dibaca sebagai "sarang", sara', atau "sara" tergantung pada konteks tulisan aksara lontara adalah kiri ke kanan yang ditulis tanpa spasi dengan tanda baca yang Lontara adalah tulisan abugida yang terdiri dari 23 aksara dasar, yaitu KA-GA-NGA-NGKA-PA-BA-MA-MPA-TA-DA-NA-NRA-CA-JA-NYA-NCA-YA-RA-LA-WA-SA-A-HA. Dan memiliki 6 huruf vokal seperti /ɔ/, /i/, /u/, /e/, /ə/, dan /o/ serta memiliki sistem penulisan Lontara Balai Bahasa KemdikbudMengutip dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam artikel berjudul "Aksara Lontara' dan Rahasia Sukses Replikasi PLPBK Kabupaten Gowa", dijelaskan bahwa huruf Lontara memiliki bentuk yang unik. Berikut penjelasannya1. Huruf Lontara Tidak Mengenal Garis Lengkung atau BengkokHuruf pada aksara Lontara tidak mengenal garis melengkung atau garis bengkok. Hanya ada garis lurus ke atas dan garis lurus ke bawah. Kemudian pada pertemuan kedua garis lurus tersebut terdapat Ditulis dengan Variable Tegak LurusSementara dari segi teknis penulisan, huruf pada aksara Lontara memiliki variasi tebal halus. Yakni ke atas harus tebal dan ke bawah harus Lontara Tidak Mengenal Huruf MatiAlasan tidak mengenal huruf mati karena orang-orang terdahulu percaya segala ilmu yang dipelajari adalah berkah dan tidak akan pernah Membaca Aksara LontaraTidak banyak yang memahami huruf aksara Lontara termasuk cara membacanya. Terdapat lima diakritik dalam aksara Lontara, berikut adalah cara membaca aksara Lontara Jika tanda titik berada di sebelah kiri atas huruf, maka dilafalkan dengan huruf vokal iJika tanda titik berada di sebelah kanan bawah, maka dilafalkan dengan huruf vokal uJika tanda yang menyerupai huruf L terbalik dan condong ke dalam, maka dilafalkan dengan huruf vokal e contohnya sepatu, tanda yang menyerupai huruf L dan condong keluar, maka dilafalkan dengan huruf vokal oJika tanda yang menyerupai huruf L dan berada pada sebelah kiri atas, maka dilafalkan dengan huruf vocal e pepet contohnya ember, enak Simak Video "Hafal 5 Juz Al-Quran, Siswa Bisa Bebas Pilih Sekolah Favorit!" [GambasVideo 20detik] alk/alk
BATU MENANGIS ATAU BATU BERANAK BATU MEMMANA`E BATU MEMMANA`E Engkana ritu seuwwa wettu ri tana Bone, sibola marana` marindo`. Indo`na maka gello na makessing ampena, naikiyy...
Lambang bunyi Lontara, kembali dikenal sebagai aksara Bugis atau Makassar, adalah pelecok satu huruf tradisional Indonesia yang berkembang di Sulawesi Selatan. Abc ini terutama digunakan untuk menggambar bahasa Bugis, Makassar, dan Mandar. Tetapi dalam pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang asian pengaruh Bugis-Makassar sama dengan Bima di Sumbawa timur dan Ende di Flores dengan tambahan atau modifikasi. Abc ini yaitu turunan semenjak aksara Brahmi India melangkahi makelar aksara Kawi. Aksara Lontara aktif digunakan sebagai goresan sehari-hari maupun sastra Sulawesi Selatan setidaknya sejak abad 16 M hingga mulanya abad 20 M sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di Sulawesi Selatan andai bagian dari muatan domestik, namun dengan penerapan yang terbatas dalam sukma sehari-perian. Baca juga Lontara’ Ibarat Sumber dalam Penulisan Sejarah di Sulawesi Selatan Berikut ini yakni panduan sumir dalam penulisan fonem Lontara. Fonem dasar indung surat Leter Lontara yakni sistem tulisan abugida yang terdiri berpangkal 23 aksara dasar. Sebagai halnya abjad Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu silabel dengan vokal inheren /a/ nan dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan fonem Lontara adalah kiri ke kanan. Secara tradisional fonem ini ditulis tanpa spasi antarkata scriptio continua dengan tanda baca yang paling kecil. Berikut ini merupakan huruf asal pada Lontara Terdapat empat aksara yang merepresentasikan suku kata pra-nasal, merupakan, ngka, mpa, nra, dan nca. Keempat aksara ini tak pernah digunakan dalam materi berbahasa Makassar dan yaitu salah satu ciri distingtif tulisan Bugis. Cuma, n domestik praktik penulisan tradisional Bugis-pula, keempat leter ini seringkali tidak dipakai dengan tegar, bahkan oleh penulis profesional. Diakritik anak asuh surat Diakritik merupakan keunggulan yang melekat plong abc utama untuk menyangkal vokal inheren fonem utama yang bersangkutan. Terwalak 5 diakritik n domestik aksara Lontara. Berikut ini merupakan anak manuskrip aksara Lontara dan contoh penggunaannya Baca juga Muhammad Salim, Penerjemah Lontara nan Menerima Penghargaan Satyalancana Peradaban Tanda baca Referensi tradisional Lontara ditulis tanpa spasi antarkata scriptio continua dan lain banyak menggunakan segel baca. Aksara Lontara diketahui saja memiliki pallawa bagaikan huruf angka. Pallawa berfungsi sebagaimana titik atau koma kerumahtanggaan huruf Latin dengan membagi wacana ke dalam penggalan yang mirip namun enggak sama dengan bait atau kalimat. Merek baca ini bisa ditemukan dalam semua skenario beraksara Lontara. Paradigma penulisan Aksara Lontara Bugis-Makassar secara tradisional tidak n kepunyaan diakritik pemati virama atau penanda sejenis yang mematikan vokal aksara dasar, sehingga lumrah ditemukan kata-kata yang tidak sepenuhnya dieja menirukan pelafalan kata yang bersangkutan. Lain adanya diakritik pemati ceria merupakan pelecok satu alasan utama banyaknya kerancuan kerumahtanggaan referensi Lontara tolok. Artikel Tercalit
cerita rakyat bugis tulisan lontara